Perpisahan Antar Siswa di Sekolah: Antara Euforia Akhir Fase dan Pertimbangan Rasional

Table of Contents
Foto: Album Kenangan Siswa Angkatan 2024/2025 SMPN 1 Cibeber

Ritual perpisahan sekolah, sebuah penanda transisi yang lazim dijumpai pada lanskap pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, kerap kali menjadi momen yang sarat emosi. Di satu sisi, terdapat luapan kegembiraan atas rampungnya sebuah tahapan belajar, diiringi harapan akan babak kehidupan selanjutnya. Namun, di sisi lain, tak jarang muncul diskursus mengenai implikasi finansial dan potensi ketidaksetaraan yang mungkin timbul. Artikel ini mencoba menelaah fenomena perpisahan sekolah ini secara ringan namun tetap berbasis pada nalar ilmiah, tanpa tendensi untuk menyudutkan perspektif tertentu, serta menyinggung koridor regulasi pendidikan yang berlaku.

Dua Sisi Mata Uang Perpisahan:

Dari kacamata psikologis dan sosial, perpisahan sekolah dapat dipandang sebagai rite of passage (Van Gennep, 1960), sebuah seremoni yang menandai perpindahan status. Bagi siswa, ini adalah momen validasi atas jerih payah selama menempuh pendidikan di jenjang tersebut, sekaligus kesempatan untuk mempererat kohesi sosial dengan rekan seperjuangan dan para pendidik (Durkheim, 1912). Kenangan kolektif yang tercipta diyakini dapat menjadi modal sosial yang berharga di kemudian hari. Lebih jauh, keterlibatan dalam acara perpisahan dapat memupuk soft skills seperti kolaborasi, komunikasi, dan manajemen bagi siswa yang menyelenggarakannya (panitia OSIS).

Kendati demikian, perlu diakui bahwa perhelatan perpisahan sekolah juga menyimpan potensi friksi. Aspek biaya menjadi sorotan utama. Praktik perpisahan yang cenderung glamor dan dilaksanakan di luar lingkungan sekolah dapat menjadi financial burden (beban finansial) bagi sebagian keluarga siswa. Hal ini berpotensi menciptakan disparitas partisipasi dan rasa keterasingan (Coleman, 1988). Selain itu, alokasi sumber daya untuk acara yang dianggap berlebihan dapat menimbulkan pertanyaan mengenai prioritas anggaran pendidikan. Tekanan sosial untuk ikut serta juga dapat mereduksi otonomi siswa dalam memilih.

Kerangka Regulasi yang Melandasi:

Dalam konteks kebijakan pendidikan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengedepankan prinsip keadilan dan pemerataan akses terhadap pendidikan. Implikasi dari prinsip ini adalah bahwa kegiatan sekolah, termasuk perpisahan, idealnya tidak boleh menjadi penghalang partisipasi siswa karena alasan ekonomi.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang mengatur tentang pengelolaan keuangan sekolah dan peran serta masyarakat memberikan rambu-rambu penting. Sekolah dituntut untuk transparan dan akuntabel dalam penggunaan dana, termasuk jika ada alokasi untuk perpisahan, yang idealnya melibatkan persetujuan komite sekolah dan representasi orang tua. Di tingkat daerah, Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Edaran Dinas Pendidikan seyogyanya memberikan acuan lebih tegas dan spesifik mengenai pelaksanaan kegiatan di sekolah.

Studi Kasus: SMPN 1 Cibeber dan Pembatalan Kegiatan 

Sebagai ilustrasi konkret dari dinamika yang terjadi, kita dapat meninjau kasus SMPN 1 Cibeber. Awalnya, kegiatan pentas seni dalam rangkaian seremonial perpisahan antar siswa direncanakan dan disepakati melalui musyawarah antara komite sekolah, orang tua siswa, dan pihak sekolah. Dalam rapat tersebut, disepakati bahwa akan ada seremonial perpisahan antar siswa secara sederhana dan pentas seni siswa yang dilaksanakan di lingkungan sekolah SMPN 1 Cibeber, dengan biaya yang bersumber dari sumbangan sukarela orang tua. Dalam konteks ini, pihak SMPN 1 Cibeber bertindak sebagai pelaksana teknis yang dimandatkan oleh komite sekolah, berupaya memfasilitasi keinginan orang tua siswa sesuai hasil kesepakatan. Perlu ditegaskan bahwa SMPN 1 Cibeber tidak melakukan pungutan terhadap orang tua; sumbangan pun tidak diterima oleh sekolah, melainkan dikelola oleh bendahara komite. Namun, di tengah pergolakan informasi dan demi menjaga kondusivitas serta menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pihak SMPN 1 Cibeber pada akhirnya memutuskan untuk tidak melaksanakan kegiatan perpisahan tersebut. Keputusan ini mencerminkan bagaimana dinamika sosial dan interpretasi publik dapat memengaruhi pelaksanaan kebijakan dan kesepakatan di tingkat sekolah, meskipun niat awalnya adalah untuk memenuhi aspirasi bersama.

Menuju Titik Keseimbangan:

Menyikapi dualitas fenomena perpisahan sekolah, diperlukan pendekatan yang bijak dan inklusif. Esensi perpisahan sebagai momen refleksi dan penguatan ikatan sosial hendaknya menjadi fokus utama, bukan kemewahan seremonial semata. Alternatif kegiatan yang lebih ekonomis dan sarat makna, seperti pentas seni di sekolah, kegiatan sosial, atau farewell event (acara perpisahan) yang sederhana namun berkesan di lingkungan sekolah, dapat menjadi opsi yang patut dipertimbangkan.

Foto: Dokumentasi Gelar Karya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) di SMPN 1 Cibeber

Proses perencanaan yang partisipatif, melibatkan siswa, orang tua, dan pihak sekolah secara transparan, menjadi krusial untuk mencapai konsensus yang mengakomodasi berbagai perspektif. Dengan demikian, perpisahan sekolah diharapkan dapat tetap menjadi penutup babak pendidikan yang membahagiakan dan memotivasi, tanpa menimbulkan eksklusivitas atau memberatkan pihak manapun, selaras dengan semangat regulasi pendidikan yang menjunjung tinggi keadilan.

Referensi:

Coleman, J. S. (1988). Social capital in the creation of human capital. American Journal of Sociology, 94(Supplement), S95-S120.

Durkheim, É. (1912). The elementary forms of religious life. Allen & Unwin.

Van Gennep, A. (1960). The rites of passage. University of Chicago Press.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


Penulis: Wisnu Wirandi

Post a Comment